Minggu, 29 Maret 2015

PERKEMBANGAN ISLAM DI FILIPINA KELOMPOK 11



        Tugas Terstruktur                                                                Dosen Pengampu
Sejarah Islam Asia Tenggara                                                      M. Fahli Zatra Hadi

PERKEMBANGAN ISLAM DI FILIPINA





Disusun Oleh :
 Asra Huda
Maini Riza
Mulya Candra Deva





JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filipina adalah sebuah Negara kepulauan yang terletak dibarat Samudra Pasifik. Penduduknya berjumlah 90 juta jiwa. 12 juta di antaranya adalah muslim. Antara tahun 1450 dan 1515, dua basis wilayah muslim berdiri, yaitu di pulau Sulu dan Mindano.
Minoritas muslim di Filipina menghadapi masalah yang sama dengan minoritas muslim di Muangthai. Problem yang di hadapi muslim Filipina dan Muangthai adalah problem kelompok minoritas, yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non Muslim dalam Negara yang sama. Mereka berada dalam dilemma bagaimana melakukan rekonsiliasi antara keyakinan islam fundamental mereka dengan perlunya menjadi warganegara yang baik di Negara-negara yang didominasi oleh non muslim.
Secara geografis wilayah Filipina terbagi dalam dua wilayah kepulauan besar, yaitu gugusan kepulauan Luzon di sebelah utara dan kepulauan Mindano di sebelah selatan. Minoritas muslim Filipina, atau lebih dikenal dengan Muslim Moro, atau bangsa Moro, adalah komunitas muslim yang mendiami kepulauan Mindano Sulu beserta gugusannya di Filipina bagian Selatan.

B. Rumusan Masalah
Untuk penjelasan dari makalah ini kami akan membuat rumusan masalahnya terlebih dahulu, diantara rumusan masalah itu ialah :
A.    Bagaimanakah perkembangan islam di Filipina ?
B.     Negara mana sajakah yang menjajah Filipina?
C.     Mengapa islam bisa tetap ada di Filipina?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah supaya pembaca dapat memahami beberapa hal diantaranya adalah :
A. Memahami perkembangan islam di Filipina.
B. Mengetahui Negara-negara yang pernah menjajah Filipina.
C. Memahami sebab dan akibat islam itu bisa tetap ada di Filipina.




























BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Islam Di Philifina
1. Sejarah Masuknya Islam di Philifina
            Islam masuk ke wilayah Philifina Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Minando pada tahun 1380. Orang pertama yang memprkenalkan islam ke Sulu adalah Tuan Mushaika yang diduga telah sampai di Sulu pada abad ke-13. Berikutnya yang datang menyebarkan agama islam di Sulu adalah ulama Arab bernama Karimul Makhdum pada abad ke-14. Ia diterima dengan baik oleh komunitas muslim Buansa. Aktivitas keagamaan pada masa Tuan Mashaika memperkuat pertumbuhan komunitas islam yang dibentuk sebelumnya.
Pada awal abad ke-15, penyebar islam lainnya datang ke Sulu yaitu Raja Baginda, ia adalah seorang pangeran dari Minang Kabau. Menurut cerita pada awal Raja Baginda datang ke kepulauan Sulu, masyarakat setempat ingin menenggelamkan kapalnya, namun setelah masyarakat tahu bahwasanya dia seorang muslim, masyarakat menyambut kedatangannya dengan senang hati dan ramah. Raja Baginda sampai di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil menyebarkan islam di Kepulauan Zamboanga dan Barsilan. Atas hasil kerja kerasnya, kebungsuwan Mangin Danao raja terkenal dari Mangin Danao memeluk islam. Islam kemudian tersebar kepulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan philifina semuanya berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin islam yang bergelar Datu atau Raja. Dari sinilah awal peradaban islam di wilayah ini. Pada masa ini, sudah dikenal sistem pemerintahan dan kodifikasi hukum yaitu Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fath Al-Qarrib al Intifa dan Mirat At-Thullab. Raja Bagindo yang mengembara bersama dengan pengikutnya berhasil memperkenalkan unsur politik ke dalam proses Islamisasi. Ia bahkan menunjuk menantunya, Syarif Abu bakar seorang ulama arab untuk melanjutkan misinya dalam penyebaran islam.
Syarif Abu Bakar merupakan orang arab kedua yang menyebarkan islam ke Sulu   pada tahun 1450. Ia mencapai Sulu melalui Palembang dari Brunei. Ia diangkat oleh Raja Baginda sebagai Kadi dan Imam. Ia memperkuat kekuasaan politik dengan memperkenalkan sistem politik kesultanan, dimana ia sendiri bertindak selaku sultan pertama dikesultanan itu. Pada tiga puluh tahun pertama pemerintahannya ia berhasil membangun sejumlah masjid dan madrasah. Ia juga berhasil mengislamkan orang Buranun, satu suku masyarakat pegunungan di Sulu.
Penyebaran islam di Mangindanao dan Lanao pada umumnya dikaitkan dengan Syarif kebungsuwan, ia diduga sampai di Mindano pada awal abad ke-16. Sama halnya dengan Raja Baginda, ia juga seorang pangeran yang datang bersama para pengawal dan pengikutnya. Ketika itu ia berlabuh di sungai Pulangi, ia sudah menemukan komunitas muslim diwilayah ini. Kemudian mereka membangun kota Cotabato dan Manguindanao.
Proses islamisasi dilakikan oleh para ulama dan pedagang yang menikah dengan wanita local, melahirkan generasi muslim yang pada gilirannya membentuk komunitas muslim. Sosok pemimpin poloitik muslim datang belakangan dan memperkenalkan sistem politik islam, pendidikan, hukum, dan institusi islam. Karena itu proses islamisasi tidak hanya terbatas pada aspek idiologi dan hukum semata tetapi sekaligus meliputi bidang pendidikan dan politik. Juga terlihat aliansi antara keluarga kerajaan Sulu, Manguindanao, Lanao, Borneo dan Maluku dalam memperkuat Syiar dan kesadaran islam dalam masyarakat Philifina selatan.

B. Islam Pada Masa Kolonial
1. Masa Kolonial Spanyol
            Negara Philifina berasal dari daerah-daerah yang telah dipersatukan Spanyol sebagai daerah jajahannya pada abad ke-16. Bangsa Spanyol datang menjajah Philifina pada tanggal 16 Maret 1521. Kesultanan Sulu yang berdiri tahu 1450, saat itu telah berusia 71 tahun. Ketika Legafzi sampai ditahun 1565, kesultanan ini sudah berumur 115 tahun. Islam menjadi sandaran dan acuan sekaligus menjadi identitas mereka dalam melawan pihak kolonial.
Penduduk daerah selatan memperlihatkan suatu budaya yang khas dari kawasan tersebut. Dipandang dari suku bangsa, maka mereka pada umunya adalah orang melayu baik budaya maupun bahasanya. Orang spanyol menanamkan mereka yang beragama islam itu sebagai bangsa Moro. Istilah Moro memperlihatkan suatu persaan persaingan dan permusuhan.
Hubungan orang Spanyol dengan Islam berlansung kira-kira tiga abad, dari tahun 1571 sampai 1898 tidak pernah menyenangkan karena orang Spanyol berusaha untuk memaksakan agama Kristen kepada mereka, disamping ketidak mampuan Spanyol sendiri dari segi militer. Selama dua abad berikutnya yang dilakukan Spanyol adalah menyerang saja akan tetapi tidak pernah mendudukinya secara permanen.
Dalam usahanya untuk menguasai Philifina selatan kolonial Spanyol menerapkan politik devide and rule (politik pecah belah dan kuasai). Tahun 1578 terjadi perang besar yang melibatkan orang Philifina sendiri. Penduduk pribumi wilayah utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian diadu domba dan disuruh berperang melawan orang islam di selatan. Sehingga terjadi peperangan antara orang Philifina sendiri dengan mengatas namakan misi suci. Dari itu timbul rasa benci dan curiga orang Kristen Philifina terhadap bangsa Moro islam hingga sekarang.
Sekalipun gagal menduduki Mindano dan Sulu, Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari territorial. Secara tidak sah dan tak bermoral Spanyol menjual menjual Philifina kepada Amerika Serikat seharga 20 juta dolar pada tahun 1898 melalui perjanjian Traktat Paris.

2. Masa Kolonial Amerika Serikat
            1898 kemenangan Amerika Serikat atas Spanyol menandai perpindahan kekuasaan atas Philifina ketangan Amerika. Amerika datang ke Mindano dengan menampilkan diri mereka sebagai seorang sahabat baik dan dapat dipercaya. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat bates pada 20 agustus 1898. Amerika mengakui pemerintahan sultanatas penduduk setempat, juga menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat, dan kebebasan mendapatkan pendidikan bagi bangsa Moro, namun itu semua hanya taktik agar orang islam tidak memberontak, karena pada saat itu Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner Philifina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo.
Setelah kaum revolusioner kalah pada 1902, kebijakan Amerika Serikat di Mindano dan Sulu bergeser kepada sikap campur tangan lansung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian Mindano dan Sulu disatukan menjadi wilayah provinsi Moroland dan berada dibawah pengawasan Amerika di Manila.

3. Masa Transisi (Peralihan)
            1935 pemerintah persemakmuran Philifina terbentuk sebagai hasil kesepakatan perjanjian antara Amerika Serikat dan pejuang nasionalis Philifina. Manuel Quezon (presiden terpilih 1935-1944) menyatakan pada masyarakat Moro bahwa mereka para sultan dan datuk tidak lagi memiliki tempat pada pemerintahan baru ini dan hukum nasional akan diberlakukan pada setiap warga Negara tanpa melihat agamanya.
Pernyataan itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat Moro, hingga sekitar seratus lebih datuk dari suku Mindano mengirim surat kepada presiden Amerika Franklin Delano Rooseveli, mereka menyatakan ingin dipisahkan dari pemerintah persemakmuran dan memilih di bawah perlindungan Amerika hingga mampu membentuk pemerintah sendiri. Hingga Philifina merdeka pada 4 juli 1946 tuntutan bangsa Moro belum terwujud. Bahkan sikap pemerintah Philifina yang mendeskriminasikan bangsa Moro semakin nyata.
Dibawah kepemimpinan seorang lulusan perguruan tinggi yang bernama Nurmisuri, mereka membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF, Moro National Libration Front) tujuan utamanya adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh bagi bangsa Moro. MNLF mendapatkan dukungan khusus dari orang-orang muslim Philifina yang menganggap gerakan ini jihad untuk melawan rezim Marcos dan juga memiliki sayap militer yaitu BMA (Bangsa Moro Army) yang anggotanya pemuda muslim Militan dan sering terlibat bentrokan senjata dengan tentara Philifina.
Disamping mendapat dukungan domestic mereka juga dapat dukungan internasional diantaranya dari Libya yaitu sumber dana dan latihan di Libya. Juga mendapat dukungan dari Sabah, yang mana mentri besar Sabah Tun Mustapha, dari etnis Tausug yang keluarganya berasal dari Sulu memberkan bantuan berupa dukungan longistik, selama perang sebagian besar MNLF berasal dari Sabah dan markas militer MNLF yang terbesar juga berada di Sabah.
Perjuangan MNLF mulai menonjol setelah presiden Marcos memberlakukan hukum darurat pada 21 september 1972 yang diikuti dengan upaya militer melucuti persenjataan kaum Moro. Akibatnya konflik antara Moro dengan pemerintah meningkat antara 1973-1976. Pada 1974 MNLF mengeluarkan manifesto yang menuntut berdirinya Republik Bangsa Moro Independen yang wilayahnya terdiri dari pulau Mindano, Basilan, Kepulauan Sulu dan Pulau Palawan.
Sebuah delegasi yang terdiri dari 4 menteri luar negeri dari Negara Libya, Saudi Arabia, Senegal dan Somalia mengunjungi Philifina untuk membahas situasi muslim dengan pemerintah Markos. Keterlibatan Negara Islam dalam kasus Moro membuahkan perjanjian Tripoli pada 23 Desember 1976 empat hal yang di sepakati dalam perjanjian tersebut:
1.      Adanya otonomi muslim diwilayah Philifina Selatan yang terintegrasi dengan wilayah Republik Philifina.
2.      Wilayah otonomi muslim meliputi Basilan, Sulu, Tawi-tawi, Zamboaga Delsur, Zamboaga Delnorte, Nort Cota Bato, Manguin Danao, Sultan Kudurat Lanao Del Norte, Lanao Del Sure, Davao Del Sure, South Cota Bato dan Palawan.
3.      Menyepakati berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan otonomi mencakup masalah politik luar negeri, pertahanan, politik, ekonomi, syariat Islam dan sebagainya.
4.      Kesepakatan ini berlaku sejak tanggal ditandatangani perjanjian tersebut.
1977 dikeluar kan dekrit presiden Philifina untuk mendeklarasi kan adanya otonomi. 13 provinsi dan 9 kota digolongkan sebagai wilayah otonom dalam perjanjian Tripoli. Dan diadakan referendum sepihak tentang otonomi di Philifina Selatan. Referendum hanya menghasilkan 10 dari 13 provinsi yang mau otonomi. Dengan adanya referendum sepihak tersebut, MNLF mengartikan bahwasanya pemerintah telah melanggar dan membatalkan perjanjian Tripoli. Akhirnya pertempuran kembali berlanjut dan membuat pimpinan MNLF Nurmisuari melarikan diri ke Timur Tengah.
Gagalnya perjanjian Tripoli merusak kredibilitas Nurmisuari sebagai pimpinan MNLF, ia ditantang oleh ketua MNLF untuk urusan luar negeri yaitu Hasim Salamat yang menuduhnya tidak memperjuangkan kepentingan umat Islam. Setelah Nurmisuari diasingkan, Hasim Salamat memisahkan diri dari LMNF dan mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Pada tahun 1980 kedua organisasi tersebut sama-sama mendukung Corazon Aquino ketika dia menggalang dukungan masa menuntut pemerintahan yang demokratis dan dia menjanjikan otonomi penuh bagi wilayah Mindano bila dia terpilih jadi presiden. Namun Moro pada saat itu menuntut otonomi sesuai perjanjian Tripoli setelah Cora Zon Aquino resmi menjadi presiden pada 1986 ia mengeluarkan UU baru yang mendeklarasikan berdirinya wilayah otonom bagi muslim Mindano.
Ketika Philifina dipimpin oleh Fidel Ramos pada 9192 dialok MNLF  kembali dilaksanakan pada saat itu Negara Indonesia berperan sebagai mediator. Dalam dialog tersebut berhasil diambil kesepakatan yang isinya :
1.      Digalakkan proyek pembanguna ekonomi diseluruh provinsi selama 3 tahun.
2.      Dibentuk dewan Philipina Selatan untuk perdamaian dan pembangunan.
3.      Nurmisuari yang kembali lagi ke Philifina dari tempat pengungsian diangkat menjadi gubernur wilayah yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Perjanjian ini ditandatangani pada 1996 dan diikuti denga kesepakatan antara pemerintah dengan MILF pada 28 Juli 1977 yang isinya “ seluruh ukuran hukum diorentasikan dan diprioritaskan untuk memperbaiki dan meningkatkan sosial, ekonomi kaum muslim sebagai penghuni asli Philifina Selatan. Akan tetapi perjanjian perdamaian antara warga Moro dengan pemerintah Philifina pada 1996 gagal total dan pada 2006 kaum muslim Moro yang diwakili oleh MILF kembali melakukan perundingan damai dengan pemerintah Philifina dan mediatornya adalah Malaysia.

C. Masa Pasca Kemerdekaan Hingga Sekarang
Kemerdekaan Philifina yang didapat dari Amerika Serikat pada 1946 tidak memiliki arti bagi bangsa Moro. Tekanan terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos berkuasa (1965-1986). Masa pemerintahannya merupakan masa pemerintahan paling represif bagi bangsa Moro pembentukan Muslim Independent  Movemen (MIM). Pada 1968 dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971 tidak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang dikenal dengan presidensial Proclamation No. 1081. Pada masa ini perjuangan bangsa Moro memasuki babak baru dengan dibentuknya Front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju seperti MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Pada saat itu juga sebagai masa terpecahnya kekuatan bangsa Moro.
Kebijakan umum pemerintah Philifina terhadap kaum muslim pada dasarnya todak berubah. Pemerintah Manila mempunyai empat titik pandangan terhadap kaum Muslim.
1.      Pemerintah masih memegang pandangan kolonial yaitu “ Moro yang baik, dalah Moro yang mati”.
2.      Kaum Muslim adalah warga kelas 2 di Philifina.
3.      Kaum Muslim adalah penghambat pembangunan.
4.      Masalah Moron adalah masalah integrasi yaitu bagaimana mengintegrasikan mereka dalam arus utama (main stream) tubuh politik nasional.
Oleh karena itu strategi umum pemerintah terhadap kaum Muslim adalah mengintegrasikan kaum Muslim, ke dalam proses demokrasi nasional. Sebagian Muslim Philifina tidak memiliki rasa identitas nasional disebabkan oleh :
1.      Orang-orang Islam merasa sulit untuk menghargai undang-undang nasional, khususnya yanh mengenai hubungan-hubungan pribadi dan keluarga, karena undang-undang itu jelas berasal dari nilai-nilai moral Barat dan Katolik.
2.      Sistem sekolah umum di bawah Republik tidak berbeda dengan yang diperkenalkan oleh kolonial Amerika dan yang dikembangkan persemakmuran.
3.      Ketidak mampuan orang-orang Islam untuk mengaggap diri mereka sendiri sebagai warganegara Republik dan yang kemudian menjadi reaksi kekerasan adalah disebabkan oleh kebencian mereka yang mendalam terhadap gelombang kaum penetap yang terus-menerus ke bagian-bagian Mindanao.
Dalam menyelesaikan masalah Moro, Manila mengambil kebijakan strategis antara lain:
  1. Militerisasi konstitusional.
  2.  Kebijakan pemerintah untuk memindahkan orang-orang Kristen dari Luzon, dan provinsi Visayan ke daerah Muslim, serta mengubah komposisi dan demografi di wilayah Muslim tersebut.
  3.  Kebijakan pemerintah untuk mencap kegiatan kaum Muslim sebagai “Fundamentalis Muslim”. Penangkapan dan penggebrekan yang terjadi terhadap sejumlah warga Timur Tengah yang didakwa sebagai teroris internasional, dan dituduh terlibat dalam rencana membunuh Paus Johanes Paulus II dalam kunjungannya ke Philifina pada tahun 1995.
  4. Kebijakan pemusnahan, seperti pembunuhan membabi buta dan pembantaian penduduk sipil sebagaimana yang terjadi dalam pembantaian Kawit, Jabidah, Masjid Mannili, Pembakaran Kota Jolo, dan lain sebagainya.
Kebjaka-kebijakan pemerintah ini telah mengundang sejumlah protes dan perlawanan dari kaum Muslim Ansharel el-Islam, dan Moro Liberation Front (MLF) pada 1971.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ketika Philipina merdeka ditahun 1946, mayoritas warga Islam Moro di pulau Mindanao, meminta supaya tidak menjadi bagian negara yang baru itu, namun permintaan itu diabaikan. Sejak itu konflik berkepanjangan pun berlangsung. Dan puncaknya disaat Philipina dipimpin Ferdinand Marcos yang menerapkan kondisi perang ‘Martial Law’. Akibatnya menjadi sangat luar biasa terjadi konflik besar antara penduduk muslim dan non-muslim di Mindanao Selatan. Perang itu memusnahkan banyak perkampungan muslim. Banyak tanah dan harta milik kaum muslim Moro yang berpindah tangan. Agar perjuangan lebih terorganisir terbentuklah MIM (Muslim Independent Movement) oleh Datuk Udtog Matulam pada tahun 1968 dan MLF (Moro Liberation Front) pada tahun 1971. MNLF sebagai induk perjuangan bangsa Moro. Lahirnya MIM dan MNLF adalah sebagai bentuk upaya untuk meraih kemerdekaan bagi wilayah masyarakat muslim.
Dampak lainya, masyarakat Islam di Filipina tidak memiliki tokoh yang bisa memanfaatkan berbagai kesempatan baik pada masa penjajahan Spanyol, Amerika Serikat maupun pada masa kemerdekaan. Akibat logisnya adalah tidak adanya tokoh muslim yang masuk ke jajaran elit pemerintahan dan elit politik yang memperjuangkan mereka secara politis. Yang ada hanya tokoh yang dapat mengobarkan mereka untuk perang sabil. Padahal dalam upaya memperjuangkan apapun di samping upaya perang, harus ada yang memperjuangkannya secara politis, khususnya dalam negeri.






DAFTAR PUSTAKA

Helmiati, 2011, Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru : Zanafa Publishing.

Dardiri Husni, Dkk, 2006, Sejarah Isalam Asia Tenggara, Riau : Institute For
Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS).

Suhaimi, Dkk, 2009, Sejarah Islam Asia Tenggara (SIAT), Pekanbaru : CV. Witra
Irzani.

Gusrianto, 2012, Diktat Sejarah dan Perkembangan Asia Tenggara, Pekanbaru.

Hitami,Munzir,2006,Sejarah Islam Asia Tenggara,Pekanbaru: Institute For
Southeast Asian Islamic Studies (ISAIS).