Tugas Terstruktur
Sejarah Islam Asia Tenggara
|
Dosen
M. Fahli Zatra Hadi
|
“ RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISLAM”

OLEH:
KELOMPOK 2
BELLA ANGGRAINI
NIM : 11443201371
MUHAMMAD EKO
PRASETYO
NIM : 11443101395
RAHMAYATI APRILLIA PUTRI
NIM : 11443204193
JURUSAN ILMU
KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN
ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA
PENGANTAR

Assalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala
puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan
dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “RESPON PEMERINTAH
INDONESIA TERHADAP ISLAM”.
Makalah ini disusun
agar pembaca dapat mengetahui tentang “
RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISLAM”, yang penulis sajikan berdasarkan
pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penulis dengan
berbagai rintangan baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang
dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah akhirnya
makalah ini dapat terselesaikan.
Tak lupa pula kami
mengucapkan terima kasih kepada Dosen
Pembimbing dan teman-teman yang telah
memberi kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan penulis pada khususnya, penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah yang lebih baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Pekanbaru, Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
2. Rumusan Masalah.......................................................................... 1
3. Tujuan Penulisan............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN
1. Respon Kerajaan Islam di Indonesia.............................................. 3
2. Respon Pemerintahan
Zaman Kolonialisme................................... 4
3. Respon Pemerintah
Orde Lama Terhadap Islam............................ 4
4. Respon Pemerintah Orde Baru Terhadap
Islam............................. 6
5. Respon Pemerintah Reformasi Terhadap
Islam............................. 10
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan .................................................................................... 11
2. Saran............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Ketika
Islam berada pada abad ke 13 M, ternyata masa tersebut merupakan masa
perkembangan yang sangat signifikan bagi Islam di kawasan nusantara. Hal ini
ditandai dengan berdirinya kerajaan yang berbasis Islam. Hal ini menandakan
bahwasanya Islam pada masa tersebut betul-betul mendapatkan respon atau
sambutan yang baik dari kalangan pemimpin masyarakat Islam pada masa tersebut.
Hal ini dapat kita lihat dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, yang mana
Sultan-Sultan yang berkuasa pada kerajaan tersebut menjadikan Islam sebagai
sandaran untuk menjalankan roda pemerintahan, bahkan mereka menjadikan wilayah
kekuasaannya sebagai pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama
dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Kemudian
bagaimana pula respon pemerintah Indonesia ketika negara Indonesia telah
berdiri dan menjadi negara yang berdaulat? Berbicara hal tersebut, maka dapat
kita bagi kondisinya pada masa Kerajaan Islam di Indonesia, masa Kolonial,
selain itu juga dari dua decade yakni repon pemerintah Indonesia pada masa Orde
Lama di bawah pimpinan Ir. Soekarno, Orde Baru di bawah pimpinan Jendral
Soeharto dan masa Reformasi.
2.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana respon kerajaan Islam di
Indonesia?
2.
Bagaimana repon pemerintahan masa
colonial?
3.
Bagaimana respon pemerintah orde lama
terhadap Islam?
4.
Bagaimana respon pemerintah orde baru
terhadap Islam?
5.
Bagaimana respon pemerintah reformasi
terhadap Islam?
3.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui bagaimana respon kerajaan
Islam di Indonesia
2.
Untuk mengetahui bagaimana respon
pemerintahan masa kolonial
3.
Untuk mengetahui bagaimana respon
pemerintah orde lama terhadap Islam
4.
Untuk mengetahui bagaimana respon
pemerintah orde baru terhadap Islam
5.
Untuk mengetahui bagaimana respon pemerintah
reformasi terhadap Islam
BAB II
PEMAHAMAN
PEMAHAMAN
1.
Respon
Kerajaan Islam di Indonesia
Kerajaan-kerajaan
Islam umumnya berdiri setelah kerajaan lama yang bercorak Buddha atau Hindu
mengalami kemunduran. Wilayah kerajaan itu pada umumnya terbatas: Samudera
Pasai, Aceh, Malaka, Demak dan beberapa kerajaan yang bersifat tribal lainnya.
Kerajaan Samudera Pasai mulai berkembang
sebagai pusat perdagangan dan pusat perkembangan Islam di Selat Malaka sejak
akhir abad ke-13 sampai abad ke-16. Sebagai salah satu pusat perdagangan,
kerajaan Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan deureuham atau dirham yang system
penempaan mata uangnya berpengaruh di dunia Melayu. Di bawah pemerintah Sultan
Muhammad Malik al-Zahir, kerajaan ini mengeluarkan mata uang emas yang
beridentitas ketuhanan. Mata uang tersebut, sampai saat ini, dianggap sebagai
mata uang emas tertua yang pernah dikeluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di
Asia Tenggara.
Kemudian beralih ke Kerajaan Aceh, yang
mana mengalami kemajuan pesat pada abad ke-16 sampai pertengahan pertama abad
ke-17. Menantu Iskandar Muda, Iskandar Tsani mengembangkan Aceh dalam beberapa
tahun ke depan. Dengan lembut dan ail, Iskandar Tsani mendorong perkembangan
agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik. Pada masa ini,
pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Namun, kematian Iskandar Tsani yang
dini, diikuti oleh masa-masa bencana tatkala beberapa sultan perempuan
menduduki singgasana pada 1641-1699, menjadikan Aceh lemah.
Demak adalah kerajaan Islam pertama di
Jawa. Raden Patah sendiri kemudian menjadi raja pertama kesultanan Demak. Kesultanan
Demak lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diramaikan oleh
para wali.Merekalah yang memimpin penyebaran agama Islam di seluruh Jawa, yang
dikenal dengan istilah” Wali songo”.
Kesultanan Demak berada di bawah
pemerintahan Raden Patah sejak akhir abad ke-15
hingga awal abad ke 16. Kepemimpinannya digantikan oleh anaknya Pati
Unus. Demak di bawah pemerintahan Pati Unus adalah Demak yang berwawasan
Nusantara. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan
Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu
waktu.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang
bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia berjasa atas penyebaran Islam di Jawa.
Di bawah pemerintahan sultan Demak ketiga (tahun 1524-1546), islam tersebar
sangat cepat ke seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke Palembang dan Kalimantan.
Pengakuan kekuasaan Demak oleh Banjarmasin dan Palembang semakin memperluas
penyebaran Islam.
Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam
sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan
Prawoto. Suksesi ke tangan Prawoto tidak
berjalan mulus, ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu pangeran Sekar
Seda Lepen. Meninggalnya Sunan Prawoto
pada tahun 1549 menandai berakhirnya kerajaan Demak. Joko tingkir memindahkan
istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.
2.
Respon
Pemerintahan Zaman Kolonialisme
Keberadaan
Islam di sekolah umum berubah-ubah menurut kebijakan pemerintah yang berkuasa
saat itu. Pada masa kolonial Belanda, sekolah umum tidak diperkenankan
memasukkan agama Islam sebagai mata pelajaran dengan alasan pengajaran di
sekolah umum itu bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di luar
jam belajar sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda.
Pada
masa pemerintahan Jepang terjadi perubahan kebijakan. Jepang membolehkan
pendidikan agama di sekolah umum sebagai efek dari ditiadakannya diskriminasi
menurut golongan penduduk, keturunan, dan agama sehingga semua lapisan masyarakat
mendapat kesempatan yang sama. Meskipun demikian, guru agama tidak digaji oleh
pemerintah Jepang.
3.
Respon
Pemerintah Orde Lama Terhadap Islam
Ketika Jepang mulai terdesak pada perang
dunia kedua dikawasan Asia Pasifik, maka Jepang mulai mengambil hati rakyat
Indonesia dengan jalan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Untuk
merealisasikan janji tersebut, Jepang mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang
pembentukkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI). Setelah BPUPKI dibentuk, badan ini mengadakan sidang paripurna dua
kali. Sidang paripurna pertama berlangsung tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni
1945. Dalam sidang ini dibahas rancangan dasar negara Republik Indonesia. Sidang
paripurna kedua berlangsung tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945dalam sidang ini
membahas konsep rancangan UUD NKRI.
Pada sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1
juni 1945 Ir.Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI, dan
kesempatan itu pula Ir.Soekarno mencetuskan ide pancasila nya. Meskipun dalam
rumusan pancasila tersebut terdapat prinsip ketuhanan, tetapi pada dasarnya
negara ini dipisahkan dari Agama.
Sebelum sidang BPUPKI di tutup,
dibentukllah panitia perumus yang beranggotakan Sembilan orang. Panitia
Sembilan, semacam sebuah komisi dari forum itu, membahas hal hal yang sangat
mendasar yakni UUD. 5 orang mewakili golongan nasionalis sekular(Soekarno, Muhammad
Hatta, Muhammad Yamin, Marawis dan Soebarjo). Dan empat orang lainnya mewakilil
golongan agamis atau islam(Abdul Kahar Muzakir, KH.Waid Hasyim, H.Agus Salim
dan Abi Kusno Tjoko Sujoso)
Pada tanggal 22 juni 1945 panitia Sembilan
berhasil merumuskan dokumen piagam jakarta(Jakarta
Charter), yakni preambule yang
berisi asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Dalam piagam Jakarta tersebut
terdapat salah satu rumusan yakni, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, namun pada waktu proklamasi tanggal 17
agustus 1945, piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Soekarno dan Hatta
justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat, karena ditulis secara
tergesa-gesa. Perlu diketahui, menjelang kemerdekaan, setelah jepang tidak
dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI di tingkatkan menjadi
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Adanya perubahan BPUPKI ke PPKI
menyebabkan banyaknya anggota BPUPKI yang tidak muncul lagi, termasuk beberapa
orang anggota Panitia Sembilan, sehingga persentase golongan agamis merosot
tajam.
Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam
sidang PPKI setelah kemerdekaan, berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa
hanya satu konstitusi sekular yang mempunyai peluang untuk diterima oleh
mayoritas rakyat Indonesia. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam
sila pertama Pancasila dengan konsekuensinya dihapuskan dalam konstitusi.
Bahkan, Kantor Urusan Agama seperti yang diperoleh Islam selama pendudukan
jepang oleh panitia pun di tolak.
Keputusan tentang penghapusan tujuh kata-kata
dari piagam Jakarta itu sama sekali tidak mengakhiri konflik ideology yang
telah berlangsung lama pada masa sebelum kemerdekaan. Golongan agamis harus
menerima kenyataan itu, karena mereka menyadari bahwa masa revolusi bukanlah
saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka. Apa lagi
Soekarno mengatakan : “Nanti dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu dapat
membuat UUD yang lebih lengkap, lebih sempurna”.
Yang sedikit melegakan hati ummat Islam
adalah keputusan komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pengganti PPKI yang
bersidang pada tanggal 25 sampai 27 November 1945 dalam sidang tersebut
membahas usul agar dalam Indonesia merdeka soal-soal kegamaan digarap oleh satu
kementrian terseniri dan tidak lagi menjadi salah satu tanggung jawab
kementrian pendidikan. Sedikit banyak keputusan tentang kementrian agama ini
merupakan semacam konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi antara
teori sekular dengan teori muslim.
Meskipun departemen agama dibentuk, namun
hal itu tidak meredakan konflik idiologi pada masa setelahnya. Setelah wakil
presiden mengeluarkan maklumat Nomor X tentang diperkenankannya mendirikan
partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali.
Pada tanggal 7 november 1945, Majelis Syuro Muslim Indonesia(Masyumi) lahir
sebagai wadah aspirasi ummat Islam, 17 Desember 1945 partai sosialis yang
mengkristalisasikan Falsafah hidup Marxis berdiri, dan pada tanggal 29 Januari
1946 Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara gidup nasionalis
sekular juga berdiri. Partai-partai Islam setelah merdeka selain masyumi juga
bermunculan seperti lahirnya Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar
dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul
Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi pada tahun 1952.
Lahirnya partai-partai tersebut,
memunculkan tiga alternative dasar negara yakni : Islam, Pancasila dan Sosial
Ekonomi (sosialis). Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante,
perbedaan mengenai dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. Dalam
pemilu 1955, tidak satupun diantara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia
itu yang tampil sebagai pemenang pemilu, yang muncul adalah suatu perimbangan
kekuatan yang mengharuskan adanya kompromi dalam bidang politik.
Usaha partai islam untuk megakkan Islam
sebagai idiologi negara di dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian
juga dengan pancasila yang oleh umat Islam waktu itu dipandang sebagai milik
kaum anti Muslimin, setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang, kesempatan
untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terluang, namun di akhiri dekrit
presiden 5 Juli 1959. Konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan
berlaku kembali. Dekrit Presiden tersebut menandai bermulanya suatu era baru
yakni demokrasi terpimpin, yang membawa kehidupan demokratis terancam dan
berada dalam krisis. Hal ini semakin jelas ketika presiden Soekarno membuabrkan
partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Sementara itu, organisasi anggota
Masyumi seperti Muhammadiyah, Math La’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Jami’ah Al
Washliyah, Al Irsyah dan persatuan Islam (Persis). Sebelum Masyumi dibubarkan
dengan penuh pengertian, kedua belah pihak mengundurkan diri dari partai.
Dengan bubarnya Masyumi, partai Islam
tinggal NU, PSII dan Perti. Partai-partai ini sebagaimana juga partai-partai
lainnya mulai menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya
mendapatkan dukungan dari dua belah pihak yang bermusuhan yakni ABRI (AD) dan
PKI. Langkah akomodatif NU dan Partai Islam lainnya selalu berdasarkan pada
ajaran agama, Al-Qur’an ada kalanya digunakan sebagai rujukan dalam memberikan
sokongan. NU memberikan gelar Waly Al Amir Dharuri Al-Syauqah kepada Soekarno.
Untuk menyenangkan hati Soekarno, IAIN memberikan gelar doctor kehormatan dalam
ilmu Usuluddin dengan promotor K.H Saifuddin Zuhri, pimpinan NU yang telah
banyak diberi peran oleh Soekarno dalam pemerintahan Demokrasi terpimpin.
Walaupun partai-partai Islam itu
meelakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan Soekarno, tetapi
secara keseluruhan peranan Partai Islam mengalami kemerosotan, tak ada jabatan
menteri yang berposisi penting yang diserahkan kepada kelompok Islam,
sebagaimana yang terjadi pada masa demokrasi Parlementer. Satu-satunya
kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang
memberlakukan pengajaran agama di Universitas dan Perguruan Tinggi.
Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno
kembali menyerukan ide lainnya yakni Nasakom, suatu pemikiran yang ingin
menyatukan Nasionalis Sekular, Islam dan Komunis. Akan tetapi idenya itu
dilaksanakan dengan caranya sendiri. Peranan partai mengalami kemerosotan,
kecuali PKI yang memainkan peranan penting dan diliputi dengan semangat yang
tinggi. Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa demokrasi
terpimpin ini berakhir juga dengan gagalnya gerakan 30 September 1965, ummat
Islam bersama ABRI dan golongan lainnya bekerja sama menumpas gerakan tersebut.
4.
Respon
Pemerintah Orde Baru Terhadap Islam
Setelah Orde Lama berakhir, kepemimpinan
Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya orde lama yang mana ummat
Islam ikut berperan besar di dalam menumbangkannya memberikan harapan-harapan
baru kepada kaum muslimin. Namun, kekecewaan barupun muncul di masa tersebut,
ummat Islam merasa meskipun komunis telah tumbang, kenyataannya Islam tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam yang
dibubarkan Soekarno tidak diperkenankan. Bahkan tokoh-tokohnya juga tidak di
izinkan aktif dalam partai muslimin Indonesia (Permusi) yang didirikan
kemudian.
Orde baru sejak semula mencanangkan
pembaruan system politik. Pada tanggal 26 November 1966, sebuah amanat dari
presiden disampaikann kepada DPRGR, yakni RUU kepartaian, RUU Pemilu, dan RUU
susunan MPR, DPR dan DPRD. RUU Pemilu, dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD
ditetapkan pada tanggal 22 November 1969. Sedangkan RUU kepartaian belum bisa
disahkan. Namun pada tanggal 5 Februari 1973 partai politik difusikan sehingga
muncullah nama Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) dan satu Golongan Karya. Dan akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1975 RUU
kepartaian disahkan. Kemudian pemerintah Orde Baru kembali menyusun suatu
program, yakni penataan kehidupan partai dengan asas tunggal Pancasila, untuk
semua partai politik dan organisasi lainnya, tidak ada lagi idiologi Islam dan
oleh karena itu tidak ada lagi partai Islam.
Menjelang pancasila diputuskan pada sidang
umum MPR 1983 sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan politik, banyak kalangan
yang melontarkan suara-suara kontra. Suara-suara tersebut semakin tajam tak
kala pancasila akhirnya, bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas bagi
partai politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan,
termasuk organisasi keagamaan di Indonesia.
Dengan penegasan tunggalan, sebagai ummat
Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi politik Islam telah hilang. Terdapat
kekhawatiran dikalangan sebagai ummat Islam terhadap ancaman sekularisasi
politik dan kehidupaan social di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul dari
perasaan keagamaan mereka. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan
politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas ke Islaman mereka akan semakin
memudar.
Untuk merumuskan situasi baru tersebut,
sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut, beberapa kalangan yang sejak
semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-forum berkenaan
dengan aspirasi politik Islam. Balitbang agama Departemen Agama, untuk tujuan
yang sama, menyelenggarakan seminar dengan tema Peranan Agama dalam Pemantapan
Ideologi Negara Pancasila. Kesimpulan dari kegiatan-kegiatan itu tampaknya
menyatakan bahwa aspirasi keagamaan dalam kehidupan politik di Indonesia tetap
akan di salurkan.
Meskipun secara politik Islam tidak
mendapatkan tempat, namun pada aspek social dan hukum Islam mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Sejak decade 1970-an, kegiatan Islam semakin
berkembang bila dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Fenomena yang
sangat bisa dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam.
Masjid-masjid, mushallah-mushallah, madrasah-madrasah juga pesantren-pesantren.
Pengajian-pengajian agama juga semakin samarak, bahkan pengajian dan
diskusi-diskusi keagamaan memasuki hotel-hotel mewah dan merekrut elit-elit
bangsa. Hal ini mungkin dapat disebut sebagai kelanjutan proses Islamisasi
terhadap golongan abangan/priyayi yang berpendidikan barat, yang dipandang
belum sempurna pada masa-masa sebelumnya.
Di samping itu, decade 1970-an, banyak
bermunculan apa yang disebut dengan intelektual masa muslim yang meskipun
sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat.
Kebanyakan mereka adalah muslim berpendidikan umum.
Namun yang tidak boleh dilupakan,
Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat Islam juga banyak
berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat belas
IAIN dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru agama,
pendakwah dan mubaligh dalam kuantitas besar. Bahkan Departemen Agama secara
terus menerus mengembangkan dan meningkatkan mutu IAIN tersebut. Belum lagi,
peranan Departemen Agama dalam membina Madrasah dan Pesantren-pesantren yang
ada di seluruh wilayah nusantara ini.
Pada aspek hukum, terutama Hukum Islam
pemerintah Orde Baru telah memberikan suatu legislasi yang sangat berharga bagi
ummat Islam Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dengan tertibnya Kompilasi dan
Kodifikasi hukum Islam Indonesia yang memuat tentang hukum perkawinan, hukum
kewarisan dan hukum perwakafan.
Kemantapan posisi hukum Islam, dalam
system hukum nasional semakin meningkat dengan tertibnya Undang-Undang
Peradilan Agama tahun 1989, yang mana undang-undang ini merupakan kelengkapan
dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman.
Ismail Suny dalam symposium Islam dan
kebudayaan Nasional tanggal 21-24 Oktober 1991 mengatakan, bahwa selama orde
baru ada 3 undang-undang yang merupakan tonggak-tonggak penting bagi umat
Islam, yaitu UU No. 14 tahun 1970, UU No. 1 Tahun 1974, dan UU No. 7 Tahun
1989. Dengan 3 Undang-Undang tersebut berlakulah hukum Islam dalam Tata Hukum
Nasional dibidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Sedekah.
5.
Respon
Pemerintah Reformasi Terhadap Islam
Pada masa Reformasi, Islam sudah mulai
banyak di perhatikan oleh berbagai pihak. Dengan munculnya sekolah-sekolah
Islan negeri, universitas-universitas Islam negeri yang tidak hanya bernaung di
bawah Kementerian Agama, tetapi juga di bawah Kementerin Pendidikan Nasional
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pada masa kolonial
Belanda, kebijakan pemerintah tidak memperkenankan agama Islam diajarkan di
sekolah-sekolah. Karenanya pengajaran Islam hanya dilaksanakan oleh masyarakat,
baik perorangan maupun melalui lembaga atau organisasi Islam dengan pengawasan
yang sangat ketat. Hal ini berbeda ketika masa kolonial Jepang yang memberikan
keluasan untuk pengajaran agama Islam di sekolah meskipun guru yang mengajar
tidak digaji oleh pemerintah.
Pada masa Orde lama pendidikan Islam mulai
diperjuangkan untuk diadakan pembaruan dengan diterbitkannya berbagai kebijakan
tentang perbaikan pendidikan Islam. Walaupun partai-partai Islam itu melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan Soekarno, tetapi secara
keseluruhan peranan Partai Islam mengalami kemerosotan, takada jabatan menteri
yang berposisi penting yang diserahkan kepada kelompok Islam. Satu-satunya
kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang
memberlakukan pengajaran agama di Universitas dan Perguruan Tinggi.
Perbaikan pendidikan Islam berlanjut pada
masa Orde Baru yang diawali oleh kebijakan pemerintah dengan penegrian madrasah
(MIN, MTsN, dan MAN), hingga lahirnya SKB Tiga Menteri yang menyamakan lulusan
sekolah dengan madrasah, pendirian MAPK dan lain-lain. Namun yang tidak boleh
dilupakan, Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat Islam juga
banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat
belas IAIN dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru
agama, pendakwah dan mubaligh dalam kuantitas besar. Bahkan Departemen Agama
secara terus menerus mengembangkan dan meningkatkan mutu IAIN tersebut. Belum
lagi, peranan Departemen Agama dalam membina Madrasah dan Pesantren-pesantren
yang ada di seluruh wilayah nusantara ini.
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
Islam semakin membaik pada masa orde reformasi dengan munculnya
universitas-universitas Islam negeri yang tidak hanya bernaung di bawah
Kementerian Agama, tetapi juga di bawah Kementerin Pendidikan Nasional yang
memungkinkan pendidikan Islam mendapat perhatian dari berbagai pihak tanpa
menonjolkan dikotomi umum dan agama.
2.
Saran
Dengan ditulisnya makalah ini penulis menyarankan agar pembaca membaca
makalah ini dengan semestinya. Penulis juga menyarankan agar peserta diskusi
dapat menjalankan diskusi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dardiri, dkk. 2006.
Sejarah Islam Asia Tenggara.
Pekanbaru: ISAIS dan Alif Riau.
Gusfrianto. 2012. Diktat Sejarah dan Perkembangan Islam di
Asia Tenggara. Pekanbaru.
Helmiati. 2011. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru:
Zanafa Publishing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar