TUGAS
TERSRUKTUR :
SIAT
|
DOSEN PEMBIMBING
M.Fahli Zatra Hadi
|
RESPON PEMERINTAH THAILAND TERHADAP ISLAM
OLEH:
KELOMPOK 8
ADINATA
NIM : 11443101311
ELVIANA DIVA SAFITRI
NIM :11443201110
ZURIANTI
RUKMANA
NIM :11443204004
Prodi. ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2015 M
KATA PENGANTAR
Dengan lafadz Bismillaahirrahmaanirrahiimi
dan ucapan syukur Alhamdulillah
kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang
tidak pernah pupus. Sehingg penulis mampu menyelesaikan makalah SIAT
tentang “Respon Pemerintah Thailand Terhadap Islam”. Sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan. Shalawat dan salam atas junjungan besar Nabi
Muhammad SAW, yang telah menjadi inspirasi dan teladan bagi seluruh umat islam
di dunia. Allaahumma shalli ‘alaa
Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, assalaamWu’alaikum ya
Rasulullaah.
Pembuatan makalah ini menggunakan metode studi pustaka, yaitu
mengumpulkan dan mengkaji materi pembahasan menenai Respon Pemerintahan Thailand Terhadap
Islam. Metode ini digunakan agar makalah ini dapat memberikan informasi
yang akurat dan bisa dibuktikan.
Penulis ucapkan terima kasih kepada Pak M.Fahli Zatra Hadi sebagai
pengajar mata kuliah SIAT yang telah membimbing penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis pastinya
tidak pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam penyusunan makalah ini,
yang mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mohon maaf atas
segala kekurangannya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya, baik bagi penulis maupun bagi para pembaca. Terima kasih.
Pekanbaru, 17 Maret 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR
ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..................................................................................................4
1.2 Rumusan
Masalah.............................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Dinamika Penduduk Thailand.........................................................................5
2.2 Problema Minoritas Muslim Thailand.............................................................5
2.3 Minoritas Muslim dan Thailand (Akar sejarah)...............................................6
2.4 Sekilas tentang Negara Thailand......................................................................8
2.5 Minoritas Muslim Thailand Dan Kebijakan Atau Respon Pemerintaha .........9
2.6 Perkembangan Minoritas Muslim Thailand....................................................13
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan......................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Asia tenggara
adalah tempat tinggal bagi penduduk Muslim terbesar di dunia. Islam merupakan
agama mayoritas di Indonesia, Malaisya, dan Brunai, dan minoritas muslim dapat
ditemukan di Burma( Myanmar), Singapura, Filipina, dan Thailand. Secara
geografis kawasan Asia Tenggara merupakan tempat yang unik dan menarik bagi
perkembangan agama-agama di dunia, sehingga hampir seluruh agama terutama agama
besar pernah singgah dan mendapat pengaruh di beberapa tempat dikawasan ini,
termasuk agama islam. Terutama Thailand. Thailand adalah sebuah
Negara di wilayah Asia Tenggara yang berbentuk Monarki Konstitusi (suatu
pemerintahan yang didirikan di bawah sistem konstitusional yang mengakui Raja, Ratu, atau Kaisar sebagai kepala negara). Islam masuk di Thailand diperkirakan sekitar abad ke-10 atau ke-11 dibawa
oleh pedagang Arab dan India. Islam pernah berkuasa di wilayah Pattani sejak
berdirinya Kerajaan Islam Patani abad ke-14. Namun, sejak berada dalam
kekuasaan Kerajaan Siam, hingga sekarang umat Islam menjadi minoritas dan
terdiskriminasi oleh pemerintahan Thailand. Muslim Thailand sebagian besar tersebar di empat
propinsi bagian selatan, yaitu Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun. Mereka
kerap memperoleh problem dan kekerasan oleh pemerintah. Hingga saat ini Muslim
Thailand terus berjuang untuk memperoleh hak-haknya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana dinamika penduduk Thailand ?
2. Bagaimana problematika dan Minoritas
Muslim dan Thailand (Akar sejarah) ?
3. Bagaimana gambaran Minoritas Muslim Thailand Dan Kebijakan atau Respon Pemerintahannya?
4.
Bagaimana Perkembangan Minoritas Muslim Thailand
?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Dinamika Penduduk Thailand
Jumlah penduduk muslim di Thailand sekitar 15 %, dibandingkan penganut
budha sekitar 80 %. Mayoritas muslim tinggal di selatan Thailand, sekitar 1,5
jt jiwa, atau 80 % dari total penduduk, khususnya patani, yala, dan narathiwat,
3 provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand selatan. Tradisi muslim di
wilayah ini mengakar sejak kerajaan sri wijaya yang menguasai wilayah asia
tenggara, termasuk Thailand selatan.
Thailand selatan terdiri dari 5
provinsi : Patani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk
6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk
muslim terdapat di 4 provinsi : Pattani,Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu
sekitar 71% di perkotaan, dan 86% di pedesaan, sedangkan di Songkhla, muslim sekitar 19%
minoritas dan 76,6% Budha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa melayu
rata-rata 70% berada di 3 provinsi : Pattani, Yala, Narathiwat, sementara
penduduk berbahasa china, ada di 3 provinsi : Narathiwat 0,3%, Pattani 1,0% dan
Yala 3,0% (Sensus penduduk, Thailand, 2000).
Songkhla adalah provinsi terbesar di Thailand Selatan yang memiliki bandara
internasional dan sebagai pusat perdagangan di selatan. Masyarakat budha etnis
Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka minoritas di selatan,
mereka termasuk kelompok ekonomi menengah, sebagai pegawai pemerintah dan atau
pengusaha.
Selama masa integrasi pattani, istilah untuk keempat provinsi yang
mayoritas muslim, masyarakat Thai Buddhis mendapat perhatian khusus dari
pemerintah. Karena mereka selalu mendominasi sebagai pemimpin utama
lembaga-lembaga pemerintahan Thailand selatan. Sementara etnis minoritas lain,
china kebanyakan juga tinggal di perkotaan sebagai pedagang. Kawasan ‘peCinan’
terbesar di selatatn adalah di kabupaten Betong, provinsi Yala. Sementara
penduduk etnis Thai di pedesaan kehidupan ekonomi dan kependudukannya sama
dengan kebanyakan muslim, sebagai petani, nelayan, atau pedagang kecil.
2.2 Problema Minoritas Muslim Thailand
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-
Siam secara resmi mengambil alih Negara-negara di melayu utara : pattani,
Narathiwat,songkhla, satun, dan yala, yang kemudian menjadi provinsi Thailand.
Sementara di melayu utara yang lain : kedah, Kelantan, perlis, dan Terengganu
oleh inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia.
Sejak penyatuan kelima
Negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari Thailand terjadi benturan
budaya antara Muslim melayu dan Buddis Thailand. Pada awal pemerintahan
Thailand yang dikuasai olehtentara Jenderal Luang Pibulsongkram yang memimpin
1938-1944, Marshal Sarit Thanarat 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya,
kebijakan Nasionalisme budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi upaya
penggunaan budaya dan bahasa Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk
wilayah Selatan membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan resistensi
sangat kuat bagi muslim melayu di Thailand selatan. Dua peristiwa yang
mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian semua pihak baik di
Thailand maupun di luar Thailand.
Minoritas muslim yang
hidup di Thailand menghadapi masalah yang sama dengan bangsa moro di Filipina.
Problem yang dihadapi kaum muslim Thailand dan Filipina adalah problem kelompok
minoritas yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non-muslim dalam
Negara yang sama. Mereka berada dalam dilemma bagaimana melakukan rekonsiliasi
antara keyakinan islam fundamental mereka dengan perlunya menjadi warga Negara
yang di Negara-negara yang didominasi oleh non-muslim.
Persoalan integrasi dan
asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai-nilai budaya dan
agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas muslim di dua Negara
ini. Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi dalam
perspektif masyarakat muslim di kedua Negara itu dipandang tidak fair,
karena dapat membahayakan dan menghilangkan identitas mereka sebagai melayu dan
muslim. Hal ini dapat dimengerti, karena secara kultural baik dari segi agama,
bahasa dan budaya, minoritas muslim di Thailand maupun di Filipina sangat
berbeda dengan teman senegaranya. Muslim Thailand misalnya, meski dari segi
politik merupakan bagian dari bangsa muangthai, mereka merupakan bagian dari
bangsa melayu (berbahasa dan berbudaya melayu) dan secara geografis terletak
berbatasan dengan Negara Malaysia yang penduduknya juga mayoritas bangsa melayu
(berbahasa dan berbudaya melayu). Andaikan mereka dapat memilih, mereka nampaknya
akan lebih memilih menyatu dengan Negara Malaysia atau memisahkan diri menjadi
Negara tersendiri. Karena itu, kebijakan integrasi dan asimilasi pemerintah
mendapat respon yang keras dari minoritas muslim di kedua Negara itu dan telah
melahirkan konflik bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintahan.
2.3 Minoritas Muslim dan Thailand (Akar sejarah)
Minoritas muslim di
muangthai tinggal di empat provinsi bagian selatan : Pattani, Yala, Satun, dan
Narathiwat, juga termasuk sebagian dari provinsi Songkhla. Seluruh provinsi ini
dulunya termasuk wilayah kesultanan pattani. Kapan tepatnya kerajaan pattani
beralih ke agama islam, hingga kini belum diketahui dengan pasti. Namun proses
islamisasi di kalangan penduduknya secara lebih intensif terjadi pada abad
ke-12 hingga ke-15. Syeh Said dari Kampong Pasai memainkan peranan yang sangat
menentukan bagi proses islamisasi kerajaan Pattani yang berikutnya berubah
menjadi kesultanan. Dengan berdirinya kesultanan Pattani, wilayah ini kemudian
tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik dan dunia dagang,
namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual. Dengan
ketiga unsur tersebut, Pattani pada zaman kesultanan termasuk satu wilayah yang
kosmopolit. Di bidang intelektual misalnya, terdapat nama seperti Muhammad
Thahir bin Ali al-Fatani (914-78/1508-78) yang menulis buku Tadzkirat
al-Maudhu’at, ia adalah salah seorang ulama Pattani awal yang paling terkenal.
Tokoh lain yang juga cukup terkenal adalah Ali bin Ishaq al-Fatani dan Muhammad
Shahih bin Abd al-Rahman al-Fatani. Dari dua nama yang disebut terakhir inilah
Daud bin Abdullah bin Idris al-Fatani memperoleh ijazah dan pengetahuan tarekat
samaniyah, tidak langsung kepada Muhammad al-Samani al-Madani.
Institusi sosial politik
kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses Islamisasi dengan cara
mempraktekkan islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun usaha lebih lanjut untuk
mempertajam akar islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik
kesultanan, terutama setelah Pattani masuk dalam periode “Ratu-ratu
Pattani”(978-1101/1568-1688). Instabilitas tersebut berawal ketika Raja Kali
berusaha memberontak dan mengambil alih singgasana dari Raja Lela. Dalam
perjalanan historis berikutnya, Pattani disamping mengalami konflik internal
juga harus berhadapan dengan gencarnya upaya kerajaan Thai-Budha di Chao Phraya
(kemudian menjadi Bangkok, ibu kota Thailand sekarang) yang berusaha menyatukan
Kesultanan Patani ke dalam wilayah kekuasaannya. Usaha ini berhasil dengan jatuhnya
kesultanan patani pada tahun 1202/1786. Meskipun kesultanan patani telah jatuh,
namun kebijakan invansi damai oleh kerajaan Thai sedikit membantu sehingga
tidak membuat kaum muslim patani hanya tinggal sejarah. Mobilitas utama ked an
dari wilayah patani masih tetap berlangsung. Dalam taraf tertentu patani masih
menjadi daerah berkunjung dan tempat mengeyam pendidikan dini bagi anak-anak
muslim.
Namun demikian, di sisi
lain tradisi dan peradaban Hindu-Budha cenderung menguat setelah kesultanan
Pattani mengalami masa kemundurannya hingga institusi politik kesultanan
tersebut benar-benar jatuh ke kekuasaan Thai Budha pada abad ke-18. Kekuatan
dan keunggulan Thai Budha atas Patani islam semakin terbukti ketika Budha
berhasil menempel pada institusi politik Thai modern, yang kemudian juga
berhasil menempel pada ideology Negara Thailand.
2.4 Sekilas tentang Negara Thailand
Asal mula Thailand secara tradisional dikaitkan
dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, yaitu kerajaan Sukhotai yang didirikan
pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan kerajaan Ayutthaya yang
didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan mempunyai wilayah kekuasaan yang
lebih besar dibandingkan Sukhotai. Kebudayaan Thailand dipengaruhi kuat oleh
Tiongkok dan India. Hubungan dengan beberapa Negara besar Eropa dimulai pada
abad ke-16. Meski mengalami tekanan yang kuat, Thailand tetap bertahan sebagai
satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah oleh Negara
eropa. Namun demikian,pengaruh Barat termasuk ancaman
kekerasan mengakibatkan berbagai perubahan pada abad ke-19 dan diberikannya
banyak kelonggaran bagi pedagang-pedagang Britania.
Sebuah revolusi tak
berdarah pada tahun 1932 menyebabkan perubahan bentuk Negara menjadi monarki
konstitusional. Negara yang semula dikenal dengan nama Siam ini, mengganti
namanya menjadi Thailand pada tahun 1939 dan untuk seterusnya, setelah pernah
sekali mengganti kembali ke nama lamanya pasca Perang Dunia II. Pada perang
tersebut, Thailand bersekutu dengan jepang, tetapi saat Perang Dunia II
berakhir, Thailand menjadi sekutu Amerika Serikat. Beberapa kudeta terjadi
dalam tahun-tahun setelah berakhirnya perang, namun Thailand mulai bergerak ke
arah demokrasi sejak tahun 1980-an.
Negara Thailand mengambil
bentuk monarki konstitusional dengan sistem demokrasi parlementer, dimana
kekuasaan dan wewenang raja bersifat terbatas. Sedangkan urusan pemerintahan
Negara dijalankan oleh perdana mentri, yang dilantik sang raja dari
anggota-anggota parlemen dan biasanya adalah pemimpin partai mayoritas.
Parlemen Thailand yang bikameral dinamakan Majelis Nasional atau Rathasapha,
yang terdiri dari Dewan Perwakilan (Sapha Phuthaen Radsadon) yang
beranggotakan 500 orang dan senat (Wuthissapha) yang beranggotakan 200 orang.
Anggota keduanya dipilih melalui pemilu rakyat. Anggota Dewan Perwakilan
menjalani masa bakti selama 4 tahun, sementara para senator menjalani masa
bakti selama 6 tahun.
Populasi Thailand
didominasi ethnis Thai dan Lao, yang berjumlah ¾ dari seluruh penduduk. Selain
itu juga terdapat komunitas besar etnis Tionghoa yang secara historis memegang
peranan yang besar dalam bidang ekonomi. Etnis lainnya termasuk etnis melayu di
selatan, Mon. Khmer dan berbagai suku orang bukit. Sekitar 95% penduduk
Thailand adalah pemeluk agama budha aliran Theravada. Ada minoritas pemeluk
agama islam, Kristen, dan hindu. Bahasa Thailand merupakan bahasa nasional
Thailand, yang ditulis menggunakan aksaranya sendiri tetapi ada banyak juga
bahasa daerah lainnya, termasuk bahasa melayu. Bahasa inggris juga diajarkan
secara luas di sekolah.
Dalam aspek ekonomi,
Thailand pernah menikmati rata-rata pertumbuhan tertinggi di dunia dari tahun
1985 -1995, yaitu rata-rata 9% pertahun. Tekanan spekulatif yang meningkat
terhadap uang Thailand, Bath, pada tahun 1997 menyebabkan terjadinya krisis
yang berdampak pada melemahnya sektor keuangan dan memaksa pemerintah untuk
mengembangkan Bath. Setelah sekian lama dipatok pada nilai 25 Bath untuk satu
dolar AS, Bath mencapai titik terendahnya pada kisaran 56 Bath pada januari
1998 dan ekonomi melemah sebesar 10,2% pada tahun yang sama. Krisis ini
kemudian meluas ke krisis financial Asia.
2.5 Minoritas Muslim Thailand Dan Kebijakan Atau Respon Pemerintahan
Secara cultural, baik dari segi agama, bahasa
dan budaya, minoritas muslim muangthai yang tinggal di Thailand selatan,
merupakan bagian dari bangsa melayu, apalagi tempat tinggalnya secara geografif
berbatasan dengan Negara-negara melayu Malaysia. Namun dari segi politik,
mereka merupakan bagian dari bangsa muangthai, sejak mereka secara langsung
dimasukkan ke dalam kerajaan thai, di bawah kekuasaan chulalongkorn atau rama V
pada tahun 1902. Letak geografis keempat profinsi itu, serta ikatan-ikatan
budayanya telah membantu memupuk suatu rasa keterasingan di kalangan
mereka terhadap lembaga sosial, budaya dan politik thai.
Sebenarnya muslim Thailand
lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan muangthai atau bergabung
dengan Malaysia, meskipun berada di bawah pemerintahan inggris, karena dengan
begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebangsa,
sebahasa dan sebudaya. Di bawah pemerintahan muangthai yang menganut agama
budha sebagai agama resmi Negara, mereka merasa diperlakukan tidak adil sebagai
minoritas. Disamping itu, mereka terisolasi dari Negara dan pemerintahan, bukan
saja karena pusat pemerintahan jauh dari daerah itu, dan perasaan terasing dari
Negara, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan.
Sehingga asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi sulit
tercapai. Kaum muslim Thailand sebaliknya terkesan cenderung mengisolasi diri,
hal itu karena mengalami kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan
mereka (teruama yang tinggal di daerah rural seperti pattani, yala, dan naratiwat)
hanya dapat berbicara sedikit bahasa thai atau tidak bisa sama sekali. Ini
membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum cina dan thai budha.
Kedua, berdasarkan keyakinan agama, kaum muslim thailand secara militant
menolak sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Misalnya mereka
tidak dibolehkan menghadiri perayaan agama lain atau menikah dengan penganut
agama lain. Ketiga, ketakutan kaum muslim thailan bahwa interaksi dengan thai
budha mengakibatkan anak-anak mereka menerima budaya thai, melalui proses
asimilasi dan berakibat mengikis tradisi melayu serta nilai-nilai ajaran agama
islam.
Selain itu, proses isolasi
terhadap kaum muslim thai, sebagian disebabkan oleh ketidak percayaan diri,
sebagian juga disebabkan oleh tekanan orientasi komunikasi media. Televisi
local dan beberapa stasiun radio diwilayah tersebut khususnya untuk melayani
masyarakat thai. Siaran banyak menggunakan bahasa thai dan memfokuskan diri
pada soal-soal yang menjadi kepentingan populasi budha dan cina. Sangat sedikit
program dan waktu siaran dalam bahasa melayu. Siaran radio Bangkok yang juga
jelas diterima di propinsi-propinsi tersebut, hanya menggunakan bahasa thai,
dan tidak menggunakan bahasa melayu sama sekali. Lebih dari itu surat kabar
juga di cetak dalam huruf dan bahasa thai, kecuali Koran local, ada kolom yang
menggunakan bahasa melayu. Kebanyakan muslim thai justru mendengarkan siaran
atau membaca Koran yang datang dari Negara tetangga dekatnya, Malaysia. Oleh
karena itu, bahasa melayu mereka justru bertambah bagus, selain inggris.
Singkatnya, secara umum, kaum muslim dibagian selatan Thailand tetap merasa
tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi diwilayah
“tanah tumpah darah mereka”
Perasan terasing dan
ketidakpuasan itu semakin kuat ketika kaum bangsawan pattani copot dari semua
kekauasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan kepada
birokrat dari Bangkok atau dari provinsi-provinsi utara, yang memiliki bahasa,
agama, dan budaya yang berbeda dengan masyarakat muslim pattani. Karena itu,
yang menjadi persoalan bagi minoritas muslim di Thailand sejak dulu adalah:
bagaimana mereka seharusnya berpartisipasi dalam proses politik sebuah Negara
yang didasarkan atas kosmologi Buddhis, birokrasi yang mewakili Negara didominasi
oleh orang Thai-Buddhis. Berbagai upacara dan ritual kenegaraan seluruhnya
Buddhis dari segi betuk dan isinya, dan yang paling penting adalah bahwa
birokrasi memiliki kekuasaan untuk mengubah nilai-nilai dan lembaga-lembaga
social dan budaya, termasuk nilai-nilai keagamaan untuk disesuaikan dengan
kebutuhan Negara.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Phibul Songkhram (1938-1944)dan
(1947-1957)misalnya, dikeluarkan kebijakan dan program integrasi pemerintahan
Muangthai yang mengkhawatirkan rakyat Muslim Pattani. Sebagai seorang yang diktator, Phibul
Shongkhram berusaha men-Siamkan semua
kelompok minoritas non-Budhis di Muangthai. Pada tahun 1940 mulai diberlakukan
dan dipaksakan aturan-aturan kultural tertentu seperti ; memakai pakaian
bergaya Barat, mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki sekolah-sekolah
pemerintah atau bila ingin melamar pekerjaan di dalam jajaran pemerintahan.
Bahaya Melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri atau digunakan dalam
percakapan dengan para pejabat pemerintah.
Kebijakan Phibul diatas, didukung oleh sistem politik yang berlaku di
Muangthai, dimana otoritas penguasa bersifat absolut, tak dapat diganggu gugat.
Penguasa cenderung menggunakan berbagai cara untuk menjamin kesesuaian dengan
kelompok minoritas dan mengontrol setiap countervailing power. Sistem seperti
ini berlaku dalam sistem pemerintahan Muangthai
yang dikenal dengan “politik birokrasi” yang berarti kuatnya kontrol
pemerintah terhadap kehidupan rakyat. Kebijakan yang dipaksakan ini justru mempertegas
identitas mereka untuk menentang.
Pada periode
selanjutnya, pemerintah Thai mencabut beberapa kebijakan ekstrem khususnya
maklumat Ratthanayom dari rezim lama dan menunjukkan sikap politik terhadap
kaum muslimin, seperti memberikan kebebasan kepada minoritas muslim untuk menjalankan
agamanya. Cara ini berhasil membuat
masyarakat muslim mau terbuka dan mau menggandeng saudaranya sesama muslim untuk berperan dalam pembangunan
nasional Muangthai. Partisipasi muslim melayu dalam system politik dan sebagai
warga Negara muangthai mulai tumbuh sejak bangkitnya demokrasi pada tahun 1979.
Dilihat dari perspektif banyak melayu muslim, proses integrasi nasional
adalah sinonim dengan “disintegrasibudaya”. Minoritas muslim Thailand merasa
tidak senang dengan intervensi pemerintah yang sangat dalam terhadap kehidupan
keagamaan dan social budaya mereka. Disamping itu, kaum muslimin Muangthai
banyak yang beranggapan bahwa kewarganegaraan mereka tidak mungkin diselaraskan
dengan ketaatan terhadap islam. Hal ini memperteguh gerakan-gerakan separatis
muslim yang gigih melawan gerakan perang gerilya melawan kekuatan-kekuatan
pemerintah Muangthai. Kaum separatis ini menginginkan kemerdekaan, meskipun
sebagian lebih menyukai suatu perserikatan dengan Malaysia. Tetapi kenyataannya,
kampun halaman mereka secara internasional diakui sebagai bagian dari wilayah
nasional Thailand, serta kecil kemungkinan bagi kaum separatis ini untuk dapat
benar-benar memisahkan wilayah muslim pattani inidari Muangthai. Dengan
demikian, tujuan pertama gerakan minoritas muslim ini adalah membebaskan
melayu-muslim pattani dari kekuasaan muangthai dan bersatu dengan Negara
Malaysia. Tetapi setelah meilhat tujuan ini sulit untuk mencapainya, maka
tujuan peruangan mereka diubah, yaitu untuk mendapatkan otonomi dibidang
politik dan kebudayaan dengan harapan dapat menegakkan agama islam didalam
masyarakat melayu-muslim pattani.
Bentuk perlawanan dari minoritas muslim Thailand kepada pemerintahnya
senantiasa mengalami perubahan; berawal dari perlawanan pasif dimasa raja
chulalongkorn dan raja wachirafut, perlawanan berbentuk partisipasi terbatas
dalam proses politik Negara, berbentuk pemberontakan, gerakan-gerakan bawah
tanah dan gerakan separatis. Akan tetapi, dalam kegiatan politik dan perjuangan
separatis mereka selama bertahun-tahun pemimpin mereka tidak mempunyai rumusan
politik yang tegas yang dapat mereka gambarkan dan mereka sajikan kepada rakyat
yang relative belum sadar politik. Hal ini menyebabkan berubah-ubahnya tujuan
perjuangan yang hendak dicapai dan tersesuaikan dengan keadaan.
Ditahun 1909 misalnya, terjadi pemberontakan dimana-mana. Kaum muslim
berusaha memisahkan diri atau menuntut otonomi penuh. Penentangan yang sangat
serius terjadi pada tahun 1957 ketika Haji Sulong, seorang pemimpin muslim dari
presiden dewan agama islam, bersama dengan beberapa pemimpin muslim lainnya
menandatangani petisi menunut antara lain otonomi penuh, menuntut penerimaan
bahasa melayu sebagai bahasa resmi disamping bahasa Thai, penggunaan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar di Sekolah Dasar wilayah tersebut, penerapan
hokum islam bagi kaum muslim, merekrut kaum muslim di propinsi-propinsi yang
dikuasai Muslim dengan komposisi 80%, dan membentuk dewan muslim yang khusus
mengurusi persoalan-persoalan spesifik kaum muslim. Petisi ini ditolak
pemerintah, dan Haji Sulong ditangkap tahun 1948. Satu tahun kemudian, dia
dipenjarakan selama 7 tahun, namun dia dibebaskan setelah mendekam dipenjara
selama 3 setengah tahun. Namun demikian, pada tahun yang sama, pemerintah
kembali menarik perhatian masyarakat muslim dengan menjadikan hari jum’at
sebagai hari libur sekolah, membantu biaya pembangunan masjid-masjid,
memberlakukan hokum islam, memperkenalkan bahasa dan budaya melayu sebagai mata
pelajaran di sekolah menengah. Pada saat yang sama juga menganulir kewajiban
bagi siswa untuk mempelajari etika budha di sekolah pada wilayah tersebut dan
mengangkat seorang pejabat muslim untuk membantu pemerintah melayani
persoalan-persoalan islam. Namun demikian, kebijakan ini tidak pernah
dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, baik pemisahan diri dari kerajaan
Thai maupun ototnomi penuh, minoritas muslim thailand tergabung dalam kelompok
organisasi seperti Pattani United Liberation Organization (PULO),
Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan Revousi Nasional dan masih
ada lagi organisasi sempalan lainnya. Keinginan untuk memisahkan diri dari
kerajaan Thai lebih dikarenakan kaurena kaum muslimin melihat adanya keengganan
pemerintah untuk memberikan kebebasan dalam mengamalkan ajaran agamanya dan
mengungkapkan aspirasi budaya mereka. Hal ini dimaknai kaum muslimin sebagai
penjauhan mereka dari agamanya dan pelumpuhan budaya umat islam. Selain itu
juga tindakan birokrat local yang tidak sim[atik seringkali menimbulkan banyak
kesulitan.
Di bidang pendidikan, lembaga pendidikan islam tidak banyak memberikan
harapan, meski telah bertahun-tahun minoritas muslim negeri ini berjuang untuk
mengkomunikasikan aspirasi-aspirasi keagamaannya kepada pemerintah. Pondok
pesantren yang dulu berfungsi sebagai tulang punggung identitas dan pertahanan
islam dalam melawan pemerintah pusat, saat ini telah hilang dan diganti dengan
system sekolah agama modern.
2.6 Perkembangan Minoritas Muslim Thailand
Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan antar kerajaan Thai dengan
masyarakat melayu-muslim tampak membaik. Putra mahkota kerajaan sering
berkunjung ke propinsi-propinsi yang berbatasan dengan Malaysia itu.
Pembangunan jalan dan gedung-gedung sekolah menandai adanya perhatian yang
serius dari pihak kerajaan. Dan yang tak kalah pentingnya bagi melayu muslim
adalah bahwa sejak tahu 1990-an mereka mulai mendapat kebebasan dalam
menjalankan syari’at islam. Namun keinginan untuk memberlakukan hokum islam
diwilayah mereka itu tetap terus mereka perjuangkan.
Hubungan pemerintah dan melayu-muslim yang mulai membaik ini tak dapat
dipisahkan dari semakin segarnya angin
demokrasi yang bertiup dinegara-negara sedang berkembang termasuk Thailand.
Seperti dikemukakan Abdul Rozak, seorang tokoh patani, bahwa perubahan sikap
pemerintah Thailand itu agaknya lebih karena tekanan internasional sehubungan
dengan sedang menghangatnya isu Hak Asasi Manusia (HAM). Akan tetapi, meski
pemerintah mencoba memperbaiki hubungannya dengan melayu-muslim, mereka masih
belum bisa menghilangkan trauma masa lalunya, terutama kalangan generasi tua.
“kami masih ingat beberapa tahun yang lalu untuk pakai kopiah dan sarung saja
tidak diperbolehkan. Konflik di Thailand Selatan sangat kental dengan
nilai-nilai agama. Pada bulan Pebruari 2004, Organisasi Konferensi
Islam (OKI) minta pemerintah Thailand untuk mengakhiri tindak kekerasan
terhadap warga Muslim di wilayah selatan Thailand. Seruan ini menjadi salah
satu point dalam pernyataan hasil pertemuan di Jeddah antara Sekretaris Jendral
OKI Prof. Ekmeleddin Ihsanoglu dan Perdana Mnteri Malaysia Abdullah Badawi,
yang mengetuai Konferensi Tingkat Tinggi Islam ke-10.
Sementara itu, Partai Demokrat yang menekankan persatuan kuat Negara
Thailand tidak berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung
kepentingan Muslim. Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi,
yang memainkan isu Selatan untuk kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang
dalam periode Thaksin memenangi parlemen secara sengaja meniunggalkan Selatan
dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand secara umum. Bahkan
membiarkan kerusuhan di Selatan. Sejak tahun 2004, kekerasan di Thailand
Selatan yang mayoritas penduduknya beragama Islam telah menewaskan 2.200 orang.
Kerusuhan yang muncul di pelihara oleh kelompok tertentu yang memiliki
kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, tumbuhnya sikap anti pemerintah pusat
yang dilakukan oleh Muslim di Selatan Thailand diakibatkan banyak hal.
Kesenjangan ekonomi menjadi kunci atas terus berlangsungnya gerakan
‘separatisme’ atau dalam istilah David Brown sebagai ‘separatime etnis’ atas
dominasi kolonialisme internal Thailand. Kesenjangan ini telah berlangsung puluhan
tahun. Akibatnya, masyarakat muslim yang mendapat tekanan politis dan keamanan
dari pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Sebagian dari mereka secara
diam-diam mendukung gerakan anti pemerintah. Bahkan beberapa diantara mereka
aktif terlibat dalam aksi kekerasan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Thailand selatan terdiri dari 5 provinsi yaitu Patani, Yala, Narathiwat,
Satun dan Songkhla. Problem yang dihadapi kaum muslim Thailand dan
Filipina adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara
damai dengan non-muslim dalam Negara yang sama. Asal mula Thailand secara tradisional dikaitkan
dengan sebuah kerajaan yang berumur pendek, yaitu kerajaan Sukhotai yang
didirikan pada tahun 1238. Kerajaan ini kemudian diteruskan kerajaan Ayutthaya
yang didirikan pada pertengahan abad ke-14 dan mempunyai wilayah kekuasaan yang
lebih besar dibandingkan Sukhotai. Kebudayaan Thailand dipengaruhi kuat oleh
Tiongkok dan India. Terisolasi
dari Negara dan pemerintahan, bukan saja karena pusat pemerintahan jauh dari
daerah itu, dan perasaan terasing dari Negara, tetapi lebih disebabkan oleh
perbedaan agama, bahasa dan kebudayaan. Sehingga asimilasi dan integrasi yang diharapkan pemerintah menjadi sulit
tercapai. Hubungan pemerintah dan melayu-muslim yang mulai membaik ini tak dapat
dipisahkan dari semakin segarnya angin
demokrasi yang bertiup dinegara-negara sedang berkembang termasuk Thailand.
Daftar Pustaka
Yayadi,2008,Ketika Umat Islam Menjadi Minoritas):Yogyakarta
Drs.H.Suhaimi
M.Ag,2009,Sejarah Islam Asia Tenggara:Pekanbaru
Dr.Helmiati,M.Ag,2011,Sejarah
Islam Asia Tenggara:Pekanbaru
Dr.Munzir
Hitami,MA,2006,Sejarah Islam Asia Tenggara:Riau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar