Minggu, 29 Maret 2015

Makalah SIAT: Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Islam

Tugas Terstruktur
Sejarah Islam Asia Tenggara
Dosen
            M. Fahli Zatra Hadi


                                                                       
 “ RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISLAM”


uin

OLEH:
KELOMPOK 2
BELLA ANGGRAINI
NIM : 11443201371
MUHAMMAD EKO PRASETYO
NIM : 11443101395
RAHMAYATI APRILLIA PUTRI
NIM : 11443204193


JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015



KATA PENGANTAR
Basmallah 4
Assalamu’alaikumwarahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan  dalam menyelesaikan makalah ini yang berjudul “RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISLAM”.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui  tentang “ RESPON PEMERINTAH INDONESIA TERHADAP ISLAM”, yang penulis sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini di susun oleh penulis dengan berbagai rintangan baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Tak lupa pula kami mengucapkan  terima kasih kepada Dosen Pembimbing dan teman-teman yang telah  memberi kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan penulis pada khususnya, penulis menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan kearah yang lebih baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

                                                                                   Pekanbaru,  Maret 2015


                                                                                                      Penulis







DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB   I   PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
2. Rumusan Masalah.......................................................................... 1
3. Tujuan Penulisan............................................................................ 1
BAB   II  PEMBAHASAN
1. Respon Kerajaan Islam di Indonesia.............................................. 3
2. Respon Pemerintahan Zaman Kolonialisme................................... 4
3. Respon Pemerintah Orde Lama Terhadap Islam............................ 4
4. Respon Pemerintah Orde Baru Terhadap Islam............................. 6
5. Respon Pemerintah Reformasi Terhadap Islam............................. 10
BAB III  PENUTUP
1. Kesimpulan .................................................................................... 11
2. Saran............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 13











BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang

Ketika Islam berada pada abad ke 13 M, ternyata masa tersebut merupakan masa perkembangan yang sangat signifikan bagi Islam di kawasan nusantara. Hal ini ditandai dengan berdirinya kerajaan yang berbasis Islam. Hal ini menandakan bahwasanya Islam pada masa tersebut betul-betul mendapatkan respon atau sambutan yang baik dari kalangan pemimpin masyarakat Islam pada masa tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan berdirinya kerajaan Samudera Pasai, yang mana Sultan-Sultan yang berkuasa pada kerajaan tersebut menjadikan Islam sebagai sandaran untuk menjalankan roda pemerintahan, bahkan mereka menjadikan wilayah kekuasaannya sebagai pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Kemudian bagaimana pula respon pemerintah Indonesia ketika negara Indonesia telah berdiri dan menjadi negara yang berdaulat? Berbicara hal tersebut, maka dapat kita bagi kondisinya pada masa Kerajaan Islam di Indonesia, masa Kolonial, selain itu juga dari dua decade yakni repon pemerintah Indonesia pada masa Orde Lama di bawah pimpinan Ir. Soekarno, Orde Baru di bawah pimpinan Jendral Soeharto dan masa Reformasi.

2.      Rumusan Masalah

1.              Bagaimana respon kerajaan Islam di Indonesia?
2.              Bagaimana repon pemerintahan masa colonial?
3.              Bagaimana respon pemerintah orde lama terhadap Islam?
4.              Bagaimana respon pemerintah orde baru terhadap Islam?
5.              Bagaimana respon pemerintah reformasi terhadap Islam?

3.      Tujuan Penulisan

1.              Untuk mengetahui bagaimana respon kerajaan Islam di Indonesia
2.              Untuk mengetahui bagaimana respon pemerintahan masa kolonial
3.              Untuk mengetahui bagaimana respon pemerintah orde lama terhadap Islam
4.              Untuk mengetahui bagaimana respon pemerintah orde baru terhadap Islam
5.              Untuk mengetahui bagaimana respon pemerintah reformasi terhadap Islam






















BAB II
PEMAHAMAN
1.      Respon Kerajaan Islam di Indonesia

Kerajaan-kerajaan Islam umumnya berdiri setelah kerajaan lama yang bercorak Buddha atau Hindu mengalami kemunduran. Wilayah kerajaan itu pada umumnya terbatas: Samudera Pasai, Aceh, Malaka, Demak dan beberapa kerajaan yang bersifat tribal lainnya.
Kerajaan Samudera Pasai mulai berkembang sebagai pusat perdagangan dan pusat perkembangan Islam di Selat Malaka sejak akhir abad ke-13 sampai abad ke-16. Sebagai salah satu pusat perdagangan, kerajaan Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan deureuham atau dirham yang system penempaan mata uangnya berpengaruh di dunia Melayu. Di bawah pemerintah Sultan Muhammad Malik al-Zahir, kerajaan ini mengeluarkan mata uang emas yang beridentitas ketuhanan. Mata uang tersebut, sampai saat ini, dianggap sebagai mata uang emas tertua yang pernah dikeluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di Asia Tenggara.
Kemudian beralih ke Kerajaan Aceh, yang mana mengalami kemajuan pesat pada abad ke-16 sampai pertengahan pertama abad ke-17. Menantu Iskandar Muda, Iskandar Tsani mengembangkan Aceh dalam beberapa tahun ke depan. Dengan lembut dan ail, Iskandar Tsani mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan penyiksaan fisik. Pada masa ini, pengetahuan keagamaan juga maju pesat. Namun, kematian Iskandar Tsani yang dini, diikuti oleh masa-masa bencana tatkala beberapa sultan perempuan menduduki singgasana pada 1641-1699, menjadikan Aceh lemah.
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa. Raden Patah sendiri kemudian menjadi raja pertama kesultanan Demak. Kesultanan Demak lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diramaikan oleh para wali.Merekalah yang memimpin penyebaran agama Islam di seluruh Jawa, yang dikenal dengan istilah” Wali songo”.
Kesultanan Demak berada di bawah pemerintahan Raden Patah sejak akhir abad ke-15  hingga awal abad ke 16. Kepemimpinannya digantikan oleh anaknya Pati Unus. Demak di bawah pemerintahan Pati Unus adalah Demak yang berwawasan Nusantara. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara tinggal menunggu waktu.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang bergelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia berjasa atas penyebaran Islam di Jawa. Di bawah pemerintahan sultan Demak ketiga (tahun 1524-1546), islam tersebar sangat cepat ke seluruh tanah Jawa bahkan sampai ke Palembang dan Kalimantan. Pengakuan kekuasaan Demak oleh Banjarmasin dan Palembang semakin memperluas penyebaran Islam.
Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto.  Suksesi ke tangan Prawoto tidak berjalan mulus, ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu pangeran Sekar Seda Lepen.  Meninggalnya Sunan Prawoto pada tahun 1549 menandai berakhirnya kerajaan Demak. Joko tingkir memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang.

2.      Respon Pemerintahan Zaman Kolonialisme

Keberadaan Islam di sekolah umum berubah-ubah menurut kebijakan pemerintah yang berkuasa saat itu. Pada masa kolonial Belanda, sekolah umum tidak diperkenankan memasukkan agama Islam sebagai mata pelajaran dengan alasan pengajaran di sekolah umum itu bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam belajar sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda.
Pada masa pemerintahan Jepang terjadi perubahan kebijakan. Jepang membolehkan pendidikan agama di sekolah umum sebagai efek dari ditiadakannya diskriminasi menurut golongan penduduk, keturunan, dan agama sehingga semua lapisan masyarakat mendapat kesempatan yang sama. Meskipun demikian, guru agama tidak digaji oleh pemerintah Jepang.

3.      Respon Pemerintah Orde Lama Terhadap Islam
Ketika Jepang mulai terdesak pada perang dunia kedua dikawasan Asia Pasifik, maka Jepang mulai mengambil hati rakyat Indonesia dengan jalan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Untuk merealisasikan janji tersebut, Jepang mengeluarkan maklumat Gunseikan No. 23/29 April 1945 tentang pembentukkan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah BPUPKI dibentuk, badan ini mengadakan sidang paripurna dua kali. Sidang paripurna pertama berlangsung tanggal 29 Mei 1945 sampai 1 Juni 1945. Dalam sidang ini dibahas rancangan dasar negara Republik Indonesia. Sidang paripurna kedua berlangsung tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945dalam sidang ini membahas konsep rancangan UUD NKRI.
Pada sidang pertama BPUPKI pada tanggal 1 juni 1945 Ir.Soekarno menyampaikan pidatonya di depan sidang BPUPKI, dan kesempatan itu pula Ir.Soekarno mencetuskan ide pancasila nya. Meskipun dalam rumusan pancasila tersebut terdapat prinsip ketuhanan, tetapi pada dasarnya negara ini dipisahkan dari Agama.
Sebelum sidang BPUPKI di tutup, dibentukllah panitia perumus yang beranggotakan Sembilan orang. Panitia Sembilan, semacam sebuah komisi dari forum itu, membahas hal hal yang sangat mendasar yakni UUD. 5 orang mewakili golongan nasionalis sekular(Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Marawis dan Soebarjo). Dan empat orang lainnya mewakilil golongan agamis atau islam(Abdul Kahar Muzakir, KH.Waid Hasyim, H.Agus Salim dan Abi Kusno Tjoko Sujoso)
Pada tanggal 22 juni 1945 panitia Sembilan berhasil merumuskan dokumen piagam jakarta(Jakarta Charter), yakni preambule yang berisi asas dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Dalam piagam Jakarta tersebut terdapat salah satu rumusan yakni, ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, namun pada waktu proklamasi tanggal 17 agustus 1945, piagam Jakarta sama sekali tidak digunakan. Soekarno dan Hatta justru membuat teks proklamasi yang lebih singkat, karena ditulis secara tergesa-gesa. Perlu diketahui, menjelang kemerdekaan, setelah jepang tidak dapat menghindari kekalahan dari tentara sekutu, BPUPKI di tingkatkan menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Adanya perubahan BPUPKI ke PPKI menyebabkan banyaknya anggota BPUPKI yang tidak muncul lagi, termasuk beberapa orang anggota Panitia Sembilan, sehingga persentase golongan agamis merosot tajam.
Dalam suasana seperti itu, M. Hatta dalam sidang PPKI setelah kemerdekaan, berhasil dengan mudah meyakinkan anggota bahwa hanya satu konstitusi sekular yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat Indonesia. Tujuh kata dalam anak kalimat yang tercantum dalam sila pertama Pancasila dengan konsekuensinya dihapuskan dalam konstitusi. Bahkan, Kantor Urusan Agama seperti yang diperoleh Islam selama pendudukan jepang oleh panitia pun di tolak.
Keputusan tentang penghapusan tujuh kata-kata dari piagam Jakarta itu sama sekali tidak mengakhiri konflik ideology yang telah berlangsung lama pada masa sebelum kemerdekaan. Golongan agamis harus menerima kenyataan itu, karena mereka menyadari bahwa masa revolusi bukanlah saat yang tepat untuk mendesak terlaksananya cita-cita Islami mereka. Apa lagi Soekarno mengatakan : “Nanti dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu dapat membuat UUD yang lebih lengkap, lebih sempurna”.
Yang sedikit melegakan hati ummat Islam adalah keputusan komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pengganti PPKI yang bersidang pada tanggal 25 sampai 27 November 1945 dalam sidang tersebut membahas usul agar dalam Indonesia merdeka soal-soal kegamaan digarap oleh satu kementrian terseniri dan tidak lagi menjadi salah satu tanggung jawab kementrian pendidikan. Sedikit banyak keputusan tentang kementrian agama ini merupakan semacam konsesi kepada kaum muslimin yang bersifat kompromi antara teori sekular dengan teori muslim.
Meskipun departemen agama dibentuk, namun hal itu tidak meredakan konflik idiologi pada masa setelahnya. Setelah wakil presiden mengeluarkan maklumat Nomor X tentang diperkenankannya mendirikan partai-partai politik, tiga kekuatan yang sebelumnya bertikai muncul kembali. Pada tanggal 7 november 1945, Majelis Syuro Muslim Indonesia(Masyumi) lahir sebagai wadah aspirasi ummat Islam, 17 Desember 1945 partai sosialis yang mengkristalisasikan Falsafah hidup Marxis berdiri, dan pada tanggal 29 Januari 1946 Partai Nasional Indonesia (PNI) yang mewadahi cara gidup nasionalis sekular juga berdiri. Partai-partai Islam setelah merdeka selain masyumi juga bermunculan seperti lahirnya Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang keluar dari Masyumi tahun 1947, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Nahdlatul Ulama (NU) yang keluar dari Masyumi pada tahun 1952.
Lahirnya partai-partai tersebut, memunculkan tiga alternative dasar negara yakni : Islam, Pancasila dan Sosial Ekonomi (sosialis). Tetapi, dalam perjalanan sidang-sidang konstituante, perbedaan mengenai dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. Dalam pemilu 1955, tidak satupun diantara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia itu yang tampil sebagai pemenang pemilu, yang muncul adalah suatu perimbangan kekuatan yang mengharuskan adanya kompromi dalam bidang politik.
Usaha partai islam untuk megakkan Islam sebagai idiologi negara di dalam konstituante mengalami jalan buntu. Demikian juga dengan pancasila yang oleh umat Islam waktu itu dipandang sebagai milik kaum anti Muslimin, setidak-tidaknya di dalam konstituante. Memang, kesempatan untuk menyelesaikan tugas konstituante masih terluang, namun di akhiri dekrit presiden 5 Juli 1959. Konstituante dinyatakan bubar dan UUD 1945 dinyatakan berlaku kembali. Dekrit Presiden tersebut menandai bermulanya suatu era baru yakni demokrasi terpimpin, yang membawa kehidupan demokratis terancam dan berada dalam krisis. Hal ini semakin jelas ketika presiden Soekarno membuabrkan partai Masyumi pada tanggal 17 Agustus 1960. Sementara itu, organisasi anggota Masyumi seperti Muhammadiyah, Math La’ul Anwar, Al Ittihadiyah, Al Jami’ah Al Washliyah, Al Irsyah dan persatuan Islam (Persis). Sebelum Masyumi dibubarkan dengan penuh pengertian, kedua belah pihak mengundurkan diri dari partai.
Dengan bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII dan Perti. Partai-partai ini sebagaimana juga partai-partai lainnya mulai menyesuaikan diri dengan keinginan Soekarno yang tampaknya mendapatkan dukungan dari dua belah pihak yang bermusuhan yakni ABRI (AD) dan PKI. Langkah akomodatif NU dan Partai Islam lainnya selalu berdasarkan pada ajaran agama, Al-Qur’an ada kalanya digunakan sebagai rujukan dalam memberikan sokongan. NU memberikan gelar Waly Al Amir Dharuri Al-Syauqah kepada Soekarno. Untuk menyenangkan hati Soekarno, IAIN memberikan gelar doctor kehormatan dalam ilmu Usuluddin dengan promotor K.H Saifuddin Zuhri, pimpinan NU yang telah banyak diberi peran oleh Soekarno dalam pemerintahan Demokrasi terpimpin.
Walaupun partai-partai Islam itu meelakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan Soekarno, tetapi secara keseluruhan peranan Partai Islam mengalami kemerosotan, tak ada jabatan menteri yang berposisi penting yang diserahkan kepada kelompok Islam, sebagaimana yang terjadi pada masa demokrasi Parlementer. Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang memberlakukan pengajaran agama di Universitas dan Perguruan Tinggi.
Pada masa demokrasi terpimpin, Soekarno kembali menyerukan ide lainnya yakni Nasakom, suatu pemikiran yang ingin menyatukan Nasionalis Sekular, Islam dan Komunis. Akan tetapi idenya itu dilaksanakan dengan caranya sendiri. Peranan partai mengalami kemerosotan, kecuali PKI yang memainkan peranan penting dan diliputi dengan semangat yang tinggi. Pancasila pun ditafsirkan sesuai dengan pemikirannya. Masa demokrasi terpimpin ini berakhir juga dengan gagalnya gerakan 30 September 1965, ummat Islam bersama ABRI dan golongan lainnya bekerja sama menumpas gerakan tersebut.
4.      Respon Pemerintah Orde Baru Terhadap Islam
Setelah Orde Lama berakhir, kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya orde lama yang mana ummat Islam ikut berperan besar di dalam menumbangkannya memberikan harapan-harapan baru kepada kaum muslimin. Namun, kekecewaan barupun muncul di masa tersebut, ummat Islam merasa meskipun komunis telah tumbang, kenyataannya Islam tidak berkembang seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam yang dibubarkan Soekarno tidak diperkenankan. Bahkan tokoh-tokohnya juga tidak di izinkan aktif dalam partai muslimin Indonesia (Permusi) yang didirikan kemudian.
Orde baru sejak semula mencanangkan pembaruan system politik. Pada tanggal 26 November 1966, sebuah amanat dari presiden disampaikann kepada DPRGR, yakni RUU kepartaian, RUU Pemilu, dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD. RUU Pemilu, dan RUU susunan MPR, DPR dan DPRD ditetapkan pada tanggal 22 November 1969. Sedangkan RUU kepartaian belum bisa disahkan. Namun pada tanggal 5 Februari 1973 partai politik difusikan sehingga muncullah nama Partai Persatuan Pembangunan (P3) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan satu Golongan Karya. Dan akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan. Kemudian pemerintah Orde Baru kembali menyusun suatu program, yakni penataan kehidupan partai dengan asas tunggal Pancasila, untuk semua partai politik dan organisasi lainnya, tidak ada lagi idiologi Islam dan oleh karena itu tidak ada lagi partai Islam.
Menjelang pancasila diputuskan pada sidang umum MPR 1983 sebagai satu-satunya asas bagi kekuatan politik, banyak kalangan yang melontarkan suara-suara kontra. Suara-suara tersebut semakin tajam tak kala pancasila akhirnya, bukan saja diputuskan sebagai satu-satunya asas bagi partai politik, tetapi juga terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan, termasuk organisasi keagamaan di Indonesia.
Dengan penegasan tunggalan, sebagai ummat Islam menganggap bahwa penyalur aspirasi politik Islam telah hilang. Terdapat kekhawatiran dikalangan sebagai ummat Islam terhadap ancaman sekularisasi politik dan kehidupaan social di Indonesia. Kekhawatiran itu muncul dari perasaan keagamaan mereka. Ada anggapan bahwa dengan asas tunggal bagi kekuatan politik dan organisasi kemasyarakatan, identitas ke Islaman mereka akan semakin memudar.
Untuk merumuskan situasi baru tersebut, sekaligus memasyarakatkan kebijaksanaan tersebut, beberapa kalangan yang sejak semula tidak melihat kemungkinan lain, menyelenggarakan forum-forum berkenaan dengan aspirasi politik Islam. Balitbang agama Departemen Agama, untuk tujuan yang sama, menyelenggarakan seminar dengan tema Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Negara Pancasila. Kesimpulan dari kegiatan-kegiatan itu tampaknya menyatakan bahwa aspirasi keagamaan dalam kehidupan politik di Indonesia tetap akan di salurkan.
Meskipun secara politik Islam tidak mendapatkan tempat, namun pada aspek social dan hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak decade 1970-an, kegiatan Islam semakin berkembang bila dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Fenomena yang sangat bisa dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam. Masjid-masjid, mushallah-mushallah, madrasah-madrasah juga pesantren-pesantren. Pengajian-pengajian agama juga semakin samarak, bahkan pengajian dan diskusi-diskusi keagamaan memasuki hotel-hotel mewah dan merekrut elit-elit bangsa. Hal ini mungkin dapat disebut sebagai kelanjutan proses Islamisasi terhadap golongan abangan/priyayi yang berpendidikan barat, yang dipandang belum sempurna pada masa-masa sebelumnya.
Di samping itu, decade 1970-an, banyak bermunculan apa yang disebut dengan intelektual masa muslim yang meskipun sering kontroversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah muslim berpendidikan umum.
Namun yang tidak boleh dilupakan, Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat Islam juga banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat belas IAIN dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaligh dalam kuantitas besar. Bahkan Departemen Agama secara terus menerus mengembangkan dan meningkatkan mutu IAIN tersebut. Belum lagi, peranan Departemen Agama dalam membina Madrasah dan Pesantren-pesantren yang ada di seluruh wilayah nusantara ini.
Pada aspek hukum, terutama Hukum Islam pemerintah Orde Baru telah memberikan suatu legislasi yang sangat berharga bagi ummat Islam Indonesia. Hal ini dapat kita lihat dengan tertibnya Kompilasi dan Kodifikasi hukum Islam Indonesia yang memuat tentang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan.
Kemantapan posisi hukum Islam, dalam system hukum nasional semakin meningkat dengan tertibnya Undang-Undang Peradilan Agama tahun 1989, yang mana undang-undang ini merupakan kelengkapan dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.
Ismail Suny dalam symposium Islam dan kebudayaan Nasional tanggal 21-24 Oktober 1991 mengatakan, bahwa selama orde baru ada 3 undang-undang yang merupakan tonggak-tonggak penting bagi umat Islam, yaitu UU No. 14 tahun 1970, UU No. 1 Tahun 1974, dan UU No. 7 Tahun 1989. Dengan 3 Undang-Undang tersebut berlakulah hukum Islam dalam Tata Hukum Nasional dibidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf dan Sedekah.

5.      Respon Pemerintah Reformasi Terhadap Islam
Pada masa Reformasi, Islam sudah mulai banyak di perhatikan oleh berbagai pihak. Dengan munculnya sekolah-sekolah Islan negeri, universitas-universitas Islam negeri yang tidak hanya bernaung di bawah Kementerian Agama, tetapi juga di bawah Kementerin Pendidikan Nasional















BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pada masa kolonial Belanda, kebijakan pemerintah tidak memperkenankan agama Islam diajarkan di sekolah-sekolah. Karenanya pengajaran Islam hanya dilaksanakan oleh masyarakat, baik perorangan maupun melalui lembaga atau organisasi Islam dengan pengawasan yang sangat ketat. Hal ini berbeda ketika masa kolonial Jepang yang memberikan keluasan untuk pengajaran agama Islam di sekolah meskipun guru yang mengajar tidak digaji oleh pemerintah.
Pada masa Orde lama pendidikan Islam mulai diperjuangkan untuk diadakan pembaruan dengan diterbitkannya berbagai kebijakan tentang perbaikan pendidikan Islam. Walaupun partai-partai Islam itu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan Soekarno, tetapi secara keseluruhan peranan Partai Islam mengalami kemerosotan, takada jabatan menteri yang berposisi penting yang diserahkan kepada kelompok Islam. Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960 yang memberlakukan pengajaran agama di Universitas dan Perguruan Tinggi.
Perbaikan pendidikan Islam berlanjut pada masa Orde Baru yang diawali oleh kebijakan pemerintah dengan penegrian madrasah (MIN, MTsN, dan MAN), hingga lahirnya SKB Tiga Menteri yang menyamakan lulusan sekolah dengan madrasah, pendirian MAPK dan lain-lain. Namun yang tidak boleh dilupakan, Departemen Agama yang dibentuk sebagai konsesi bagi umat Islam juga banyak berjasa dalam membentuk dan mendorong kebangkitan Islam tersebut. Empat belas IAIN dengan sekian banyak cabangnya sangat berjasa menyiapkan guru-guru agama, pendakwah dan mubaligh dalam kuantitas besar. Bahkan Departemen Agama secara terus menerus mengembangkan dan meningkatkan mutu IAIN tersebut. Belum lagi, peranan Departemen Agama dalam membina Madrasah dan Pesantren-pesantren yang ada di seluruh wilayah nusantara ini.
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan Islam semakin membaik pada masa orde reformasi dengan munculnya universitas-universitas Islam negeri yang tidak hanya bernaung di bawah Kementerian Agama, tetapi juga di bawah Kementerin Pendidikan Nasional yang memungkinkan pendidikan Islam mendapat perhatian dari berbagai pihak tanpa menonjolkan dikotomi umum dan agama.

2.      Saran
Dengan ditulisnya makalah ini penulis menyarankan agar pembaca membaca makalah ini dengan semestinya. Penulis juga menyarankan agar peserta diskusi dapat menjalankan diskusi dengan baik.





















DAFTAR PUSTAKA
Dardiri, dkk. 2006. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: ISAIS dan Alif Riau.
Gusfrianto. 2012. Diktat Sejarah dan Perkembangan Islam di Asia Tenggara. Pekanbaru.
Helmiati. 2011. Sejarah Islam Asia Tenggara. Pekanbaru: Zanafa Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar